MAKALAH DISKUSI
TAKWA DAN KRITERIA
TAKWA
Di Susun Oleh :
·
Ananda . F
·
Heri
·
Vivin
STIE MANAJEMEN
BISNIS INDONESIA ( STIE MBI )
Jl. Akses UI No.
89 Rt. 02/09 Cimanggis Depok 12640
TAKWA
DAN KRITERIA TAKWA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia - Nya kepada
kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat
pada waktunya yang berjudul “ TAKWA DAN KRITERIA TAKWA ”.
Makalah ini berisikan tentang takwa
dan bagaimana tingkat ketakwaan kita. Diharapkan makalah ini dapat bermamfaat
untuk kita semua terlebih lagi untuk
penulis.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalm penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita.AMIN.
Depok, 02 Febuari 2013
DAFTAR
ISI
Bab
I Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Masalah…………………………………………………………….......
1.2
Rumusan Masalah ………..…………………………………………………………….
1.3
Tujuan Penulisan makalah
……………………………………………………………...
Bab
II Pembahasan
1.1
Pengertian Takwa ………………………………………………………………………
1.2
Empat Kriteria Takwa …………………….
…………………………………………...
1.3
Unsur Takwa ……………………..,……………………………………………………
1.4
Tingkatan Takwa
……………………………………………………………………….
1.5
Syarat Takwa
…………………………………………………………………………...
Bab
III Penutup
1.1
Kesimpulan …………………………………..…………………………………………
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………………………………………………
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kata
“takwa” sangat sering kita dengar dalam ceramah-ceramah agama, sebagaimana
kalimat ini mudah dan ringan diucapkan di lisan kita. Akan tetapi, sudahkah
hakikat kalimat ini terwujud dalam diri kita secara nyata? Sudahkah misalnya
ciri-ciri orang yang bertakwa yang disebutkan dalam ayat berikut ini
terealisasi dalam diri kita?
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Qs. Ali ‘Imran: 134-135)
Maka
mempraktekkan kalimat ini tidak semudah mengucapkannya, khususnya kalau kita
mengetahui bahwa takwa yang sebenarnya adalah amalan hati dan bukan sekedar apa
yang tampak pada anggota badan.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takwa itu terletak di sini”,
sambil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dada/hati beliau
tiga kali.
Di
sinilah letak sulitnya merealisasikan takwa yang hakiki, kecuali bagi
orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, karena kalau anggota badan mudah
kita kuasai dan tampakkan amal baik padanya, maka tidak demikian keadaan hati,
sebab hati manusia tidak ada seorangpun yang mampu menguasainya kecuali Allah
Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ
وَقَلْبِهِ
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi
(menghalangi) antara manusia dan hatinya.” (Qs. al-Anfaal: 24)
Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
semua hati manusia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah
Ta’ala), seperti hati yang satu, yang Dia akan membolak-balikkan hati tersebut
sesuai dengan kehendak-Nya”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdoa: “Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati (manusia),
palingkanlah hati kami untuk (selalu) taat kepad-Mu.”
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apaka takwa itu ?
2.
Apa saja Kriteria takwa ?
3.
Apa saja tingkatan taqwa ?
4.
Apa
sajakah syarat untuk bertaqwa ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Memenuhi tugas agama
islam mengenai Bab Taqwa.
2.
Agar
kita bisa lebih memahami tentang Takwa.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Takwa
Taqwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah
dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya; tidak
cukup diartikan dengan takut saja. Adapun arti lain dari taqwa adalah:
1. Melaksanakan
segala perintah Allah
2. Menjauhkan
diri dari segala yang dilarang Allah (haram)
3. Ridho
(menerima dan ikhlas) dengan hukum-hukum dan ketentuan Allah
Taqwa berasal
dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. "memelihara diri
dalam menjalani hidup sesuai tuntunan/petunjuk allah" Adapun dari asal
bahasa arab quraish taqwa lebih dekat dengan kata waqa Waqa bermakna
melindungi sesuatu, memelihara dan melindunginya dari berbagai hal yang
membahayakan dan merugikan.
Dari kata waqa
ini taqwa bisa di artikan berusaha memelihara dari ketentuan allah dan
melindungi diri dari dosa/larangan allah. bisa juga diartikan berhati hati
dalam menjalani hidup sesuai petunjuk allah.
1.2 Empat Kriteria Taqwa
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran: 102).
Apa saja kriteria takwa itu? Imam
Ali ra mendefinisikan taqwa dalam empat kriteria, yakni Al-khouf bil Jalil
wal hukmu bit tanzil wal isti’dad li yaumil rahil war ridho bil qolil.
(Takut kepada Allah yang Maha Mulia, berhukum dengan al-Quran yang telah
diturunkan, bersiap diri untuk hari akhir, dan ridho dengan bagian sedikit)
Pertama, Al-Kouf bil Jalil (Takut kepada Allah yang Maha Mulia). Yang dimaksud takut disini bukan seperti kepada algojo atau atasan yang jahat. Namun, yang dimaksud takut disini adalah takut karena kebesaran dan kemahabijaksanaan Allah SWT, sehingga dia takut jika melanggar aturan Allah SWT, bahkan dia takut padaNya meskipun manusia tidak melihatnya.Hal ini pernah tercermin pada seorang wanita yang meminta Nabi saw agar ia dihukum rajam karena perbuatannya, sebab dia takut akan siksa Allah di akhirat.
Pertama, Al-Kouf bil Jalil (Takut kepada Allah yang Maha Mulia). Yang dimaksud takut disini bukan seperti kepada algojo atau atasan yang jahat. Namun, yang dimaksud takut disini adalah takut karena kebesaran dan kemahabijaksanaan Allah SWT, sehingga dia takut jika melanggar aturan Allah SWT, bahkan dia takut padaNya meskipun manusia tidak melihatnya.Hal ini pernah tercermin pada seorang wanita yang meminta Nabi saw agar ia dihukum rajam karena perbuatannya, sebab dia takut akan siksa Allah di akhirat.
Namun Rasulullah saw masih
mengulur-ngulur waktu dalam menjatuhkan sangsi karena kehamilannya. Meskipun
pelaksanaan sangsi diundur, namun wanita ini tidak sabar menunggu, dan pada
waktunya ia pun dengan kesadaran sendiri mendatangi Nabi saw untuk dihukum.
Setelah Nabi saw menjatuhkan hukuman rajam padanya hingga wafat, Nabi pun
menshalatkan jenazahnya. Saat itu Umar bin Khattab ra bertanya memprotes Nabi,
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau mau menshalatkan wanita penzina ini?” Nabi
saw menjawab, “Wahai Umar, seandainya taubat wanita ini ditimbang dengan taubat
sepuluh penduduk Madinah, pastilah taubatnya melampaui mereka”.
Perasaan takut kepada Allah inilah yang membuat manusia berhati-hati dalam melakukan segala kejahatan.
Kedua, al-hukmu bit tanzil (Berhukum kepada al-Quran yang diturunkan). Banyak di antara umat Islam yang ingin berhukum kepada Al-Quran, namun mereka masih memakai hukum kuffar. Mau bertuhankan Allah namun masih percaya dengan praktek klenik dan khurafat.
Suatu hari dua muallaf Yahudi telah resmi masuk Islam, namun dalam amalannya, mereka masih menikmati ritual agama Yahudi, dimana setiap hari sabtu masih melakukan ibadah cara Yahudi, maka turunlah ayat Allah SWT:
Perasaan takut kepada Allah inilah yang membuat manusia berhati-hati dalam melakukan segala kejahatan.
Kedua, al-hukmu bit tanzil (Berhukum kepada al-Quran yang diturunkan). Banyak di antara umat Islam yang ingin berhukum kepada Al-Quran, namun mereka masih memakai hukum kuffar. Mau bertuhankan Allah namun masih percaya dengan praktek klenik dan khurafat.
Suatu hari dua muallaf Yahudi telah resmi masuk Islam, namun dalam amalannya, mereka masih menikmati ritual agama Yahudi, dimana setiap hari sabtu masih melakukan ibadah cara Yahudi, maka turunlah ayat Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
(QS. Al-Baqarah: 208)
Ayat ini menunjukkan agar kita
totalitas dalam berIslam serta hanya mengacu kepada tuntunan al-Quran dan
sunnah Rasulullah saw, serta tidak mencampuradukkan ritual Islam dengan ritual
agama lain.
Ketiga, Al-isti’dad li yaumil rahil (Menyiapkan diri untuk hari akhirat). Nabi saw pernah menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal dunia. Karena pada hakekatnya, hidup di dunia laksana menyebarang jalan. Artinya, dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alam akhirt-lah tujuan akhir hidup kita. Oleh karena menyiapkan diri untuk tujuan akhir adalah penting, agar selamat sampai tujuan.
Suatu hari, tatkala Umar bin Abdul Aziz menerima tampuk kekhalfihan, beliau bersitirahat sejenak setelah menghadiri upacara pemakaman khalifah sebelumnya. Baru saja umar rebahan untuk beristirhat, tiba-tiba ada orang yang berkata, “Wahai, tidakkah anda segera mengembalikan harta yang pernah diambil khalifah sebelummu secara zhalim?”. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Tunggulah sebentar, aku akan beristirahat terlebih dahulu, nanti setelah zuhur akan aku serahkan harta yang pernah diambil secara zalim itu”. Namun kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang menjaminmu tetap hidup setelah zuhur nanti?”. Mendengar kata-kata itu, segera saja Umar bin Abdul aziz tersentak dan tidak bisa tidur lagi, dan beliau segera mengembalikan harta yang pernah diambil secara zalim oleh khalifah sebelumnya.
Perasaan Umar seperti di atas adalah karena beliau ingin agar di akhirat tidak dituntut siapapun. Ini adalah penyikapan orang yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Keempat, al-ridho bil qolil (Ridho dengan bagian yang sedikit). Sikap ini sepadan dengan makna qona’ah (rasa puas dengan pemberian Allah). Sikap ini sangat sulit jika tidak didorong dengan sikap husnuzzhon (baik sangka) kepada Allah SWT, sebab sifat dasar manusia adalah selalu ingin lagi dan ingin lagi.
Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
Itulah empat kriteria takwa yang didefiniskan Saidina Ali bin Abi Thalib.
Ketiga, Al-isti’dad li yaumil rahil (Menyiapkan diri untuk hari akhirat). Nabi saw pernah menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal dunia. Karena pada hakekatnya, hidup di dunia laksana menyebarang jalan. Artinya, dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alam akhirt-lah tujuan akhir hidup kita. Oleh karena menyiapkan diri untuk tujuan akhir adalah penting, agar selamat sampai tujuan.
Suatu hari, tatkala Umar bin Abdul Aziz menerima tampuk kekhalfihan, beliau bersitirahat sejenak setelah menghadiri upacara pemakaman khalifah sebelumnya. Baru saja umar rebahan untuk beristirhat, tiba-tiba ada orang yang berkata, “Wahai, tidakkah anda segera mengembalikan harta yang pernah diambil khalifah sebelummu secara zhalim?”. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Tunggulah sebentar, aku akan beristirahat terlebih dahulu, nanti setelah zuhur akan aku serahkan harta yang pernah diambil secara zalim itu”. Namun kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang menjaminmu tetap hidup setelah zuhur nanti?”. Mendengar kata-kata itu, segera saja Umar bin Abdul aziz tersentak dan tidak bisa tidur lagi, dan beliau segera mengembalikan harta yang pernah diambil secara zalim oleh khalifah sebelumnya.
Perasaan Umar seperti di atas adalah karena beliau ingin agar di akhirat tidak dituntut siapapun. Ini adalah penyikapan orang yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Keempat, al-ridho bil qolil (Ridho dengan bagian yang sedikit). Sikap ini sepadan dengan makna qona’ah (rasa puas dengan pemberian Allah). Sikap ini sangat sulit jika tidak didorong dengan sikap husnuzzhon (baik sangka) kepada Allah SWT, sebab sifat dasar manusia adalah selalu ingin lagi dan ingin lagi.
Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
Itulah empat kriteria takwa yang didefiniskan Saidina Ali bin Abi Thalib.
Adakah kriteria itu dalam diri kita?
Jika belum, berarti waktu / masa kita yang lalu harus dievaluasi, demikian juga
fungsi wasiat takwa. Wallahu a’lam.
1.3 Unsur TAkwa
·
Takut kepada Allah, dalam artian kita
menanamkan rasa bahwa Allah itu mutlak adanya, Esa, dimana gerak kita selalu
terlihat oleh-Nya.Taqwa jenis ini merupakan tingkatan awal, dalam hal ini Allah
berfirman :
Dan barangsiapa
yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa
kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. 24:52)
“Hai manusia,
bertaqwalah kepada Rabbmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah
suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu
melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak
yang disusuinya dan gugurlah segala kandungan wanita yang hamil, dan kamu lihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sebenarnya tidak mabuk, akan tetapi
azab Allah itu sangat keras. (QS. 22:1-2)”
Sekarang, sudah
mulai jelas bukan? Jika kita mendasarkan pemahaman hanya pada tingkat ini saja,
kapan kita akan merasakan nikmatnya iman? Kapan kita akan mengarahkan taqwa
dengan benar? Jika yang kita ketahui hanya satu ”takut pada Allah”. Sedangkan
takut pada Allah itu sendiri ada prosesnya.
“Demi
kemuliaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan dua rasa takut dan dua rasa aman pada
seorang hamba. Jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberinya rasa
aman di akhirat. Dan jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan
memberinya rasa takut di akhirat.”
·
Setelah kita melaui proses pertama,
barulah kita beranjak pada tahapan yang kedua yaitu menjalankan perintah
al-Qur`an dan menjauhi apa yang jelas-jelas di larang dalam kitab-Nya.
Al-Qur`an surat al-Isra: 9 menjelaskan:
“Sesungguhnya
al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.”
“Barang siapa
membaca al-Qur`an dan mengamalkannya, pada hari kiamat kelak kelak Allah akan
memakaikan mahkota pada kedua orang tuanya, yang gemerlapan (sinarnya) lebih
baik daripda sinar matahari dalam salah satu rumah dunia, sekiranya sinar itu
di dalamnya. Lantas bagaimana dugaan kalian mengenai orang yang mengamalkannya
sendiri.”
“Demikianlah
(perintah Allah), barang siapa mengagungkan syair-syair Allah
(lambang-lambang-Nya), sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS.
Al-Hajj:32)”
“Barang siapa
membaca al-Qur`an dan menguasainya (benar-benar memahami maknanya), kemudian ia
menghalalkan yang dihalalkan oleh al-Qur`an dan mengharamkan yang
diharamkannya, kelak al-Qur`an akan memasukkannya ke dalam surga dan
mengizinkan ia memberi syafaat kepada sepuluh orang keluargannya (semuanya)
yang telah diharuskan masuk neraka. (HR. Tirmidzi)
·
Mempersiapkan diri untuk Hari
Akhir. Tingkatan
ketiga yaitu mempersiapkan untuk hari Akhir.Tahapan taqwa ini merupakan tolak
ukur dimana kita melakukan semua aktifitas di dunia ini dalam rangka
mempersiapkan diri untuk bertemu dengan-Nya.Membuktikan ketaqwaan kita secara
tepat untuk melangkah pada fase kehidupan ke-3 dan seterusnya (alam barzah dan
akhirat).
“Tidak
seorangpun di antara kalian kecuail diajak bicara oleh Allah tanpa penerjemah.
Kemudian ia menoleh ke kanan, maka ia tidak melihat sesuatu melainkan apa yang
pernah dilakukannya (di dunia). Ia pun menoleh ke kiri, maka ia tidak melhat
sesuatu melainkan apa yang pernah dilakukannya (di dunia). Lalu ia menoleh ke
depan, maka ia tidak melhat sesuatu melainkan neraka di depan wajahnya. Karena
itu, jagalah diri kalian dari neraka meski dengan sebutir kurma.”
·
Ikhlas menerima apa yang ada. Tahapan
terakhir, setelah kita melakukan proses taqwa di atas, kita harus menyertakan
rasa rela. Rela di sini dalam artian kita sepenuhnya ridha (ikhlas) dengan
ketetapan Allah yang digariskan kepada kita baik lahir maupun batin, rela pada
kuantitas bentuk materi yang sedikit.
Barang siapa
meninggalkan dunia (wafat) dengan membawa keikhlasan karena Allah swt.saja,ia
tidak menyekutukan Allah sedikitpun, ia melaksanakan shalat, dan menunaikan
zakat, maka ia telah meninggalkan dunia ini dengan membawa ridha.
Bersyukur juga
harus kita perhatikan, mengapa? Karena begitu sedikit manusia yang bersyukur,
banyak dari mereka menganggap syukur hanya dengan kalimat al-hamdulillah namun
tak banyak dari mereka mengetahui cara bersyukur.
Dan sedikit
sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. (QS. 34:13)
Dan orang-orang
yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik. (QS. 29:69)
Seperti itulah
tahapan bertaqwa kepada Allah.Seperti itu pula konsep taqwa, yang bila salah
satu dari keempatnya hilang, maka
berkuranglah ketaqwaan itu. Oleh sebab itu, surat al-Baqarah: 41 yang
artinya “maka hanya kepada-Ku kamu harus
bertakwa“. Pertanyaannya; taqwa yang bagaimana?Dan di tingkat mana
ketaqwaan itu tertanam?
Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan ketaqwaan
sebenar-benarnya.(Al-Imran: 102)
1.4 Tingkatan Takwa
·
Taqwa
nya Orang Orang yang hanya Melaksanakan Perintah Allah dan Menjauhi Larangan
Allah dengan Sekedarnya atau hanya melaksanakan agar gugur kewajiban saja.
Taqwa semacam ini kata pak Khotib,
adalah taqwa nya orang orang yang nggak sehat rohani nya. karena orang yang
taqwa semacam ini hanya menjadikan beban saja kepada orang yang melakukannya.
semisal orang tersebut melaksanakan sholat tanpa ada kesadaran dari hati untuk
melaksanakan sholat tapi lebih karena orang tersebut takut akan berdosa jika
tidak melaksanakan sholat atau meninggalkannya. sholatnya pun asal saja, tidak
tepat waktu, tidak sholat secara berjamaah di masjid atau musholla tapi “yang
penting melaksanakan sholat”.
·
Taqwa
nya Orang Orang yang ingin menjadikan ibadah itu sebagai suatu hal yang terbaik
dalam hidupnya agar bisa menjadi Solusi dan Penolong bagi dirinya dalam
menghadapi Problematika Hidup.
Dalam Tingkatan Taqwa yang kedua
ini, Pak Khotib memberikan Ilustrasi sebuah Kisah yang sangat menarik. Kurang
lebihnya Kisah itu seperti Ini : “Pada saat itu Hujan Deras dan angin bertiup
sangat kencang. ada Tiga orang yang terjebak didalam sebuah Gua yang
tertutup sebongkah Batu Besar akibat tertiup angin. sehingga ketiga orang ini
tidak bisa keluar dari goa.
Namun Karena ketiga orang ini masing
masing adalah seorang yang bertaqwa dan beramal sholeh maka mereka akhirnya
bisa keluar dari dalam Goa karena Pertolongan dari Allah.
Saat terjebak didalam Goa, Orang
Pertama yang berprofesi sebagai Penggembala berdoa :” Ya Allah, Aku adalah
seorang Penggembala, tiap malam aku selalu memeras susu dari ternakku untuk aku
minumkan kepada kedua orang tuaku. pernah pada suatu malam kedua orang
tuaku karena kecapek’an, mereka tertidur, dan akhirnya aku belum sempat
meminumkannya, pada saat itu anakku menangis minta susu itu, tapi aku tidak
memberikan susu itu kepada anakku karena kedua orang tuaku belum meminumnya.
aku menunggunya sampai mereka bangun dari tidurnya, lalu aku meminumkannya,
baru setelah itu baru aku berikan susu itu kepada anak dan istri ku.” jika hal
itu adalah sesuatu yang terbaik menurut Engkau, Tolong Engkau bukakan Batu yang
menutup Goa ini agar Kami dapat keluar. maka seketika itu juga Batu besar yang
menutup Goa itu membuka sedikit, namun Mereka bertiga masih belum bisa keluar
dari Goa.
Orang kedua kemudian Berdoa lagi,
“Ya Allah… aku Pernah akan Berbuat Zina dengan saudari sepupuku, karena Dia
butuh Uang, kemudian aku bilang kepadanya, aku akan berikan uang / harta
kepadamu tapi dengan syarat engkau harus mau berzina denganku, lalu pada saat
aku akan menidurinya…, aku terigat kepadaMu dan aku tidak jadi Melakukannya,
lalu aku tinggalkan Uang dan hartaku untuk saudari sepupuku yang tidak jadi aku
zinahi. Jika hal itu adalah termasuk perbuatan terbaik yang pernah aku lakukan,
maka aku mohon kepadaMu ya Allah… Buka kan Pintu mulut Goa ini agar Kami bisa
Keluar. Maka Batu yang menutupi pintu goa itupun bergeser sedikit… namun masih
juga mereka bertiga belum bisa keluar.
Lalu Orang Ketiga juga Berdoa… Orang
ketiga ini adalah seorang Pengusaha Kaya Raya (Majikan) dan mempunyai banyak
Karyawan. pada saat gajian, ada seorang karyawannya yang tidak hadir dan belum
mengambil gaji nya. lalu pengusaha ini mengambil inisiatif untuk membelikan
gaji karyawan tersebut beberapa ekor kambing. beberapa tahun berlalu si
karyawan ini tidak muncul juga hingga akirnya kambing pun bertambah banyak
sampai sampai bukit penuh dengan kambing. suatu ketika karyawan yang belum
mengambil gaji nya tersebut menghadap sang majikan untuk mengambil hak nya yang
belum sempat diambil pada waktu itu. tanpa disangka oleh karyawan.., majikan
itu ternyata memberikan seluruh kambing itu kepada si karyawan, betapa senang
si Karyawan itu.
Dari cerita diatas, lalu Majikan ini
ber do’a… “Ya Allah… Jika perbuatanku itu Kau catat sebagai Amal Ibadah
terbaikku.. aku mohon PadaMu… agar engkau menolongku agar Batu yang menutup Goa
ini terbuka lebar… dan Akhirnya… dari ketiga amal sholeh dan perbuatan terbaik
ketiga orang ini goa pun terbuka lebar sehingga mereka bertiga bisa
selamat dan keluar dari Goa.
Oleh karena itu, Amalan yang terbaik
yang timbul dari hati itulah sebaik baik taqwa dan bisa memberikan Pertolongan
kepada diri kita sendiri.
·
Taqwa
nya Abu Bakar As-sidiq (Yaitu Taqwa yang sudah habis habisan, mengorbankan
segalanya di jalan Allah.. termasuk Jiwa Raga dan Harta Benda namun masih
merasa masih terlalu banyak dosa)
Menurut Riwayat Hadist Soqih, Abu
Bakar assidiq adalah Sahabat Nabi yang Kaya Raya, dan mempunyai banyak super
market, Lalu kemudian menjadi Miskin dan tidak memiliki harta apapun, bahkan
jubah dan sorban nya pun hanya dari karung goni yang kusut. semua harta nya di
gunakan untuk membantu perjuangan Rasullullah. namun pengorbanannya itu tidak
menjadikan abu Bakar assyidiq berbangga diri, malah beliau masih merasa masih
sangat banyak dosa dan selalu berdoa mohon ampun kepada Allah SWT. inilah taqwa
yang menduduki tingkatan paling atas.
1.5 Syarat
Takwa
1. Ilmu
Dijadikan
sebagai syarat untuk menggapai derajat taqwa, karena ilmu adalah merupakan
langkah awal untuk melakukan atau menentukan sesuatu untuk mencapai
tujuan. Seseorang bila ingin mencapai sebuah tujuan, maka dia harus mengetahui
(baca: meng-ilmu-i) hakikat (bentuk, rupa dan keriteria) tujuan tersebut dengan
jelas, tidak samar-samar, lalu dia harus mengetahui persiapan apa yang ia
lakukan untuk mencapai tujuan tersebut, dan dia harus mengetahui apa
konsekuensi yang harus ia pelihara ketika telah mencapai tujuan tersebut... dan
seterusnya - dan seterusnya.
Allah
berfirman:
فَاعْلَمْأَنَّهُلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُوَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ
"Ketahuilah
bahwasannya tiada tuhan (yang patut disembah dengan benar) melainkan Allah, dan
mohon ampunlah atas dosa-dosamu".[QS.
Muhammad:19]
Pada ayat ini
Allah berfirman dengan menggunakan fi'il 'amr (kata kerja perintah),
yaitu: ف
- اعلم , dimana fi'il
ini mashdarnya adalah علم
(Ilmu), yang ma'nanya adalah: "Ketahuilah" atau "ilmuilah"
. Oleh karena itu dengan berdasarkan dalil ini Al Imam Muhammad bin Isma'il Al
Bukhoriy dengan kedalaman ilmunya dalam memahami Al Qur'an, dan dengan
kecerdikannya dalam ber - istinbath (mengeluarkan hukum dari/dengan
dalil), meletakan sebuah Bab dalam kitab Shahihnya, dengan berkata:
باب العلم قبل القول و العمل
"Bab Ilmu
terlebih dahulu sebelum berkata dan beramal / berbuat" [Shahih
Bukhoriy - Kitab Al Ilmu]
Demikian juga
dengan taqwa, taqwa adalah merupakan puncak tujuan yang paling mulia bagi
manusia dalam beragama, oleh karena itu satu hal yang lebih utama lagi bagi
seorang muslim untuk berilmu tentangnya, dan ini suatu keharusan, yaitu
diantaranya berilmu tentang hakikat taqwa, lawazim (unsur-unsur) taqwa,
tentang syarat dan rukunnya, tentang konsekuensinya, dan kepada siapa dia
bertaqwa.
Ringkas kata
kita harus berilmu tentang taqwa dengan baik dan benar serta jelas dan tidak
samar-samar, sebelum kita berkata, dan berbuat/beramal dalam melangkah
menggapai derajat
taqwa.
Lawan dari ilmu
adalah kejahilan (kebodohan). Maka suatu hal yang tidak mungkin (mustahil)
seseorang akan mencapai tujuan, bila ia bodoh atau tidak mengetahui alias
jahilterhadap tujuannya sendiri. Demikian juga dengan ketaqwaan,
seseorang tidak akan pernah mencapai derajat taqwa bila ia jahil (bodoh)
tentang ketaqwaan.
Akan tetapi
Ilmu yang dimaksud secara mutlak, yang tidak boleh seorang muslim bodoh (jahil)
tentangnya adalah: Ma'rifatullah (mengenal Allah), Ma'rifat An Nabi
(mengenal Nabi), dan Ma'rifat Diin Al Islam bil Adillah (mengenal agama
Islam dengan dalil). Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
bin Sulaiman At Tamimiy dalam "Al Ushul Ats Tsalatsah".
Sebagian ulama
menyatakan, bahwa ilmu yang dimaksud adalah: Apa yang Allah Firmankan dalam Al
Qur'an, dan apa yang Rasululah sabdakan dalam Al Hadits, dan apa yang para
shahabat Rasul katakan dalam memahami Al Qur'an dan Al Hadits.
Semua itu
adalah lawazim taqwa yang sangat mendasar, setiap muslim bila ingin
mencapai derajat taqwa harus bertolak dari ilmu-ilmu tersebut, bila tidak ia
akan lemah dan rapuh, tidak akan pernah mencapai derajat taqwa.
2. Ikhlas
Yang dimaksud adalah
mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan kepada -Nya, memurnikan
ibadah hanya untuk Allah, dalam rangka menjalankan perintah dan menjauhi
larangan -Nya, semuanya dilakukan hanya karena dan untuk Allah tabaraka wa
ta'ala.
Allah
berfirman:
وَمَاأُمِرُواإِلَّالِيَعْبُدُوااللَّهَمُخْلِصِينَلَهُالدِّينَحُنَفَاءَوَيُقِيمُواالصَّلَاةَوَيُؤْتُواالزَّكَاةَوَذَلِكَدِينُالْقَيِّمَةِ
" Dan
tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka menyembah Allah dengan
memurnikan keta'atan kepadanya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan
agar mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama
yang lurus". [QS. Al Bayyinah: 5]
Agama yang
lurus adalah agama yang jauh dari kesyirikan (menyekutukan
Allah) dan jauh dari kesesatan
Dijadikan
ikhlas adalah sebagai syarat untuk mencapai derajat taqwa, karena tidak mungkin
seorang muslim disebut orang yang bertaqwa sedangkan ia berbuat kesyirikan,
memalingkan ibadah kepada selain Allah, menjadikan ibadahnya
perantara-perantara kepada Allah dengan apa yang tidak diizinkan oleh Allah,
atau Allah tidak menurunkan keterangan -Nya dalam kitab -Nya, atau dalam
ibadahnya hanya untuk mencari penghidupan dunia, atau hanya karena wanita yang
akan dinikahiya, hal-hal tersebut adalah yang merusak keikhlasan dalam
beribadah kepada Allah. Bagaimana seseorang akan mencapai derajat taqwa
sedangkan ibadahnya rusak, dan tertolak disisi Allah?
Allah
berfirman:
ذَلِكَهُدَىاللَّهِيَهْدِيبِهِمَنْيَشَاءُمِنْعِبَادِهِوَلَوْأَشْرَكُوالَحَبِطَعَنْهُمْمَاكَانُوايَعْمَلُونَ
Itulah petunjuk
Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di
antara hamba-hambaNya.seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya
lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [QS. Al An'am:
88]
Oleh karena itu
ikhlas adalah merupakan syarat mutlak untuk mencapai ketaqwaan.
3. Ittiba’
mengikuti
contoh (suri tauladan) Nabi Muhammad Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam
diseluruh totalitas kehidupan kita dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa
Jalla. Hal ini dikarenakan 2 hal:
Pertama: Karena
Rasulullah adalah manusia dan hamba Allah yang pertama kali yang telah mencapai
puncak ketaqwaan. Beliaulah orang yang paling bertaqwa didunia. Oleh karena
beliau orang yang paling mengerti tentang apa yang dikehendaki oleh Allah,
sehingga beliau orang yang pertama kali yang mengerjakan semua perintah Allah,
dan orang yang paling pertama kali yang menjauhi larangan Allah berdasarkan
bimbingan dari Allah.
Kedua: Karena
orang yang beramal atau ibadah kepada Allah, sedangkan ibadahnya tersebut tidak
pernah ada ajarannya dari Rasulullah Muhammad shalallahu'alaihi wa sallam
, maka amalannya atau ibadahnya tersebut tertolak disisi Allah subhanahu wa
ta'ala.
Rasulullah
bersabda:
"Barang
siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada atasnya ajaran kami, maka
amalan tersebut tertolak".[HR. Al Bukhoriy & Muslim, dari
Ummul Mu'minin Aisyah radliallahu'anha]
Bagaimana kita
akan mencapai ketaqwaan sedangkan amal ibadah kita tertolak disisi Allah? Oleh
karena itu Ittiba' (mengikuti contoh / sunnah) Rasul, adalah syarat
untuk mencapai derajat taqwa.
Adapun
ayat-ayat Al Qur'an yang berbicara dan memerintahkan untuk ittiba' kepada Nabi,
banyak diantaranya:
Allah
berfirman:
قُلْإِنْكُنْتُمْتُحِبُّونَاللَّهَفَاتَّبِعُونِييُحْبِبْكُمُاللَّهُوَيَغْفِرْلَكُمْذُنُوبَكُمْوَاللَّهُغَفُورٌرَحِيمٌ
"Katakanlah
(Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya
Allah mencintaimu dan mengampunkan dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang".[QS. Ali Imran: 31].
Dan Allah
berfirman:
"... Dan
apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa-apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah..." [QS. Al Hasyr:
7]
Dan Allah
berfirman:
"Barangsiapa yang taat kepada Rasul maka sungguh ia telah mentaati
Allah" [QS.An Nisa: 80]
BAB
III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Setelah membaca tulisan di atas,
jelaslah bagi kita bagaimana pentingnya mengkaji dan memahami ilmu agama,
karena inilah satu-satunya cara untuk meraih kemuliaan tingi dalam agama, yaitu
ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, sangat wajar kalau kita
dapati para ulama Ahlus Sunnah menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu
agama melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap semua kebutuan pokok dalam
kehidupan mereka.
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad
bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan
manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal: “Kebutuhan
manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap makan
dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari,
adapun ilmu (agama) dibutuhkan
(sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu).
Dengan demikian, kita dapat memahami
bahwa takwa adalah upaya seseorang dalam memelihara diri dengan sikap hati-hati
agar senantiasa bisa menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi segala apa
yang telah dilarangnya. Inilah yang dinamakan dengan takwa. Inilah sebuah
amalan yang ternyata sangat kita butuhkan agar kita dapat sukses dan bahagia
hidup di dunia dan akhirat.
Akhirnya,
kami menutup tulisan ini dengan doa:
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.
.
Husein,
Mochtar. 2008. Hakikat Islam Sebuah Pengantar Meraih Islam Kaffah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ustadz Abdullah
Taslim, M.A. Artikel www.muslim.or.id
takwa dan dunia
BalasHapus